First love never last! Itu yang
sering orang ucapkan.
Entah mengapa banyak
orang di dunia ini begitu mengenang cinta pertama. Ia merekah seperti setangkai
bunga mawar di pagi hari, indah dan menawan.
Cinta pertama hadir di
dalam hati yang begitu polos, putih dan bersih. Tak pernah dikotori oleh rayuan
gombal, pertimbangan materi atau jabatan. Tidak pernah ! cinta ya cinta. Asli
dan murni. Ibarat emas ia adalah emas murni tanpa campuran logam lain.
Tapi ada satu pepatah lagi
mengenai cinta pertama yang jarang sekali diungkapkan orang lain. Pepatah ini
telah kususun dan kurangkai dalam sebuah kalimat pendek yang mudah dipahami
oleh orang lain. Karena aku ingin semua orang tahu ada bagian lain dari cinta
pertama yang tidak diketahui orang lain. First
love can never survive ! cinta petama tidak akan mampu bertahan. paling
tidak itu menurut pengalaman empirisku sendiri.
Tersebutlah Bintang,
laki-laki jangkung berumur tujuh belas tahun. Dan Mila gadis berusia lima belas tahun. Duduk di
kelas I SMA Harapan Bangsa. Mereka
terlibat dalam kisah cinta pertama yang indah tak terperi. Langit selalu indah
dihiasi pelangi menurut mereka walaupun orang lain tak melihat ada satu lembar
warna pelangipun tergantung di angkasa. Setiap detik selalu terdengar sebuah
lagu cinta yang berdengung-dengung di
telinga mereka bertajuk Now and Forever milik
suara romantis Ricard Marx, walaupun orang lain sama sekali tak mendengarnya.
Itulah Bintang dan Mila,
symbol cinta anak SMA, seumpama Galih dan Ratna di film tahun 80-an yang
dibintang Rano Karno dan Yessi Gusman. Nama mereka tertulis di setiap tempat.
Di bangku sekolah, meja,tembok belakang sekolah, di pohon pinggir jalan, di
setiap lembaran buku pelajaran di mana-mana. Dan di antara nama itu mereka
tidak lupa membuat gambar berbentuk hati, menandakan begitu dalam cinta mereka.
Dan mereka seperti juga
kisah cinta di sinetron Indonesia
yang ditayangkan televisi swasta setiap malam, telah berjanji untuk selalu
bersama apapun yang terjadi. Walaupun badai dan topan tornado berimigrasi dari
Amerika ke Indonesia
itu semua takkan mampu memisahkan cinta mereka. Pokoknya always be together, forever, till death do us part. Ya, Tuhan
alangkah dahsyatnya cinta mereka.
Dan bagi siapa saja yang
mengaku dirinya adalah seorang yang mengagungkan cinta akan sangat merasa iri
melihat kebersamaan mereka. Mereka selalu bersama ketika jam istirahat sekolah,
pulang sekolah, kegitan ekstra kurikuler. Selalu bersama !
Itulah Bintang, laki-laki
jangkung berumur tujuh belas tahun. Dan
gadis berumur lima
belas tahun kelas I SMA itu adalah aku. Dan kisah cinta pertama itu adalah
kisahku, lima
belas tahun yang lalu !
Setahun kami bersama,
karena Bintang lebih dulu menyelesaikan SMA, dia kelas III dan aku kelas I.
dan saat itu adalah saat paling menyedihkan bagiku.
“Mila, aku akan
merantau,”itu kata Bintang pada suatu sore setelah ia menerima ijazah SMA.
Bintang berencana akan
merantau mengadu nasib di Malaysia
menjadi TKI. Itu adalah sebuah rencana yang umum terjadi di desa kami. Banyak
orang selepas SMA akan berlayar ke seberang untuk mengadu nasib. Karena di
tempat kami tidak ada lapangan pekerjaan yang dapat diandalkan.
Dan di sore yang
menyakitkan itulah kami berjanji untuk saling memberi kabar. Kami berjanji akan
mengumpulkan banyak uang agar kami suatu hari nanti dapat membangun sebuah
keluarga nan bahagia.
Dan kami benar-benar
memenuhi janji itu. Surat
yang tak putus-putusnya, kartu ulang tahun, kartu lebaran dan foto-fotoku
terbaru tak lupa selalu kukirim agar ia dapat selalu melihat perkembanganku.
Begitupun ia.
Dan surat-suratpun terus
mengalir paling tidak untuk delapan belas bulan, karena setelah itu semuanya
berhenti. Semua surat
dan kartu tiada lagi, tiada lagi pelangi di pagi hari, tiada lagi melodi cinta Now and forever terdengar. Semua seperti
berhenti. Berhenti pada satu titik ;
bosan ! walau getar rindu dan cinta masih sama namun kesibukan sekolah dan
beberapa laki-laki pengganti membuat semuanya berubah.
Sekali lagi cinta pertama
takkan pernah mampu dipertahankan, karena kemudian aku mulai mengisi lembar
hari-hariku dengan laki-laki lain.
**
Anak berusia enam tahun
lebih itu melompat-lompat di atas bangku kelas I A. ia sengaja melakukan itu
untuk mencari perhatian teman sebangkunya yang tidak mau mendengarkannya
bernyanyi.
“Tiara, tidak boleh begitu
Sayang,” aku mencoba membujuknya dengan lembut. Tapi ia tetap tidak mau.
Tiara adalah muridku di SD
Mawar Melati. Dia anak yang cerdas sebenarnya tapi nakalnya minta ampun. Dia
selalu bergerak kesana- kemari ketika jam pelajaran berlangsung. Dia mengganggu
teman, menyembunyikan pensil teman sebangkunya bahkan memukul siapa saja yang
berani dekat dengannya tak peduli dia anak laki-laki yang tubuhnya lebih besar
darinya.
Kehadirannya merupakan
sebuah ujian kesabaran bagiku, sebuah ujian yang tak pernah dilakukan di bangku
kuliah dulu namun harus dihadapi ketika aku bekerja.
Untung tak lama bel tanda
pulang berbunyi, aku segera memimpin murid-murid untuk berdoa dan keluar kelas
dengan tertib. Murid berbaris keluar kelas dan aku mengikutinya dari belakang.
Di pintu kelas kulihat
Luthfi guru olah raga di sekolahku sedang melatih anak-anak bermain basket. Ia
segera menghampiriku.
“Bagaimana Bu Mila hari
ini, apa Tiara membuat keributan lagi?”
Dengarlah ! pertanyaan itu
membuktikan bahwa kenakalan Tiara telah menjadi pengetahuan wajib bagi seluruh
guru di sekolah ini. Aku tersenyum getir. Dia juga tersenyum tapi tidak getir
malah manis.
Aku menjelaskan padanya
tentang tingkah laku Tiara hari ini. Dan menjelaskan bahwa aku berencana akan
menelpon orang tuanya. Sudah tiga kali surat
panggilan dikirimkan kepada orang tua Tiara untuk datang ke sekolah guna
membicarakan tentang perkembangan anaknya namun tak sekalipun orang tuanya
datang. Setiap hari yang mengantar jemput Tiara adalah tukang becak langganan
Tiara.
Pagi tadi kulihat buku
data murid kelasku, dan tertera nomor telepon di situ. Ini harus dilakukan
karena tiga surat
sebelumnya tidak mendapat taggapan serius.
Tertera B. Tampubolon, SH
adalah ayah Tiara dan ibunya Rahmatanti, SE. Ayahnya seorang pengacara dan
ibunya tidak bekerja. Dapat kupahami kesibukan ayahnya tapi ibunya tidak
memiliki kesibukan apa-apa. Kulihat lagi data keluarganya bahwa Tiara adalah
anak pertama dari 2 bersaudara. Jadi tidak dapat dijadikan alasan kesibukan
ibunya dijadikan alasan tidak datang ke sekolah.
**
Jam dua siang angin
sepoi-sepoi. Waktu yang tepat untuk tidur siang. Tidur siang adalah saat yang
paling kusuka. Karena saat itu seluruh kepenatan setelah selama setengah hari
penuh dapat terhapus di atas pembaringan empuk.
Kubuka jendela kamar agar
udara siang dapat masuk. Halaman samping rumahku ditumbuhi oleh banyak pohon
sehingga bila siang hari selalu menjanjikan kesejukan walaupun cuaca sangat
panas.
Aku membaringkan tubuhku.
Kejadian tadi di sekolah sangat membekas. Bagaimana tidak orang tua
Tiara-muridku yang supernakal- memarah-marahiku seenaknya.
“Itu kan tugas ibu sebagai guru kok saya harus
turun tangan”. Begitu kata ayah Tiara di telpon. Dengan logat salah satu daerah
di Sumatera yang kental. Kemudian dia membentak-bentakku dengan kata-kata
kasar. Menceramahiku bahwa guru itu harus begini begitu.
Aku heran. Bukankah
ayahnya adalah orang terpelajar dan memiliki profesi bagus. Pengacara. Tapi
masih punya pikiran bahwa tanggung jawab mendidik anak adalah seratus persen
tanggung jawab guru di sekolah. Benar-benar tidak masuk akal. Akibatnya dia
tidak mau tahu dengan apa yang terjadi dengan anaknya.
Kujelaskan bahwa seharusnya dia atau istrinya datang
ke sekolah untuk memenuhi surat
panggilan, ia memberi alasan sibuk. Entah dengan istrinya dia jugatidak tahu mengapa
istrinya tidak datang untuk memenuhi surat
panggilan itu. Aneh ! bukankah mereka satu rumah ?
Lalu kujelaskan mengenai
keadaan putrinya yang selalu membuat keributan di sekolah, nilainya yang tak
pernah di atas empat, juga sikapnya yang selalu melawan guru.
Dan semua pernyataanku
selalu dijawab dengan sebuah kalimat yang sama. “Itu kan tugas ibu sebagai guru”.
Benar-benar orang tua
menyebalkan !
Untung saja siang tadi
suasana hatiku lagi baik. Aku sedang bersemangat karena sebelum berangkat
kerja, Rita teman semasa SMA mengirimku sebuah pesan singkat.
“Aq bertmu Bintang,msh
ingt km,msh sndri,n sdg cr cln istri”
Oh
my God! Tiba-tiba aku
merasa lemas dan jantung berdegup kencang.
Dengan hanya satu kalimat
saja sudah membuat suasana hatiku berubah. Ada setitik rasa bahagia dalam hatiku.
Rasanya seperti ditetes embun pagi, sejuk sekali terasa dalam hati. Seketika
itu juga kupandangi langit, dan kulihat terbentang warna-warni pelangi. Merah,
kuning, hijau di langit yang biru. Dan seketika itu juga berdengung-dengung
alunan gitar akustik milik Richard Marx mengalunkan Now and Forever. Indah tak terperi.
Ah..sudah begitu lama aku
tak melihatnya. Bagaimanakah ia kini? Bertambah gendut atau masih kurus seperti dulu. Aku tak bisa membayangkan bagaimana wajahnya kini, selalu yang
tampak laki-laki kurus dengan seragam SMA, Cuma itu.
Rita sudah mengatur sebuah
janji untuk pertemuan kami. Sabtu sore, di sebuah Taman Bunga. Aku tertawa
dalam hati. Seperti di film India
saja. Setelah lima
belas tahun tak bersua akhirnya dipertemukan kembali dengan cinta pertama. Dan
masih sama-sama sendiri. Duh… betapa indahnya.
Tiba-tiba aku teringat
Luthfi. Ya, ampun, aku ada janji dengannya. Entah kenapa ia begitu berbaik hati
akan mengantarkan aku ke rumah Tiara muridku untuk menjumpai ibunya. Walau
bagaimanapun harus ada tindakan dari sekolah. Sikap ayahnya tidak bisa
diharapkan. Bila ini terus berlanjut Tiara akan terancam tinggal kelas. Maka
aku mengambil inisiatif untuk menjumpai ibunya, barang kali sikap ibunya
berbeda.
Aku dan Lutfi berangkat
menuju rumah Tiara dengan mengendarai vespa milik Luthfi. Dia memakai jeans
biru dan kemeja lengan panjang yang pas di tubuhnya. Sepatu kets yang juga
berwarna biru menambah pas penampilannya. Jujur, ia terlihat berbeda.
Selama ini aku mengenal
Luthfi sebagai ‘bapak guru’. Ia selalu berpenampilan super rapi. Kalau tidak
memakai safari pasti ia akan mengenakan kaus olah raga. Selalu begitu dari
senin sampai sabtu.
Tapi kali ini ia beda.
Tampak lebih muda. Diam-diam aku menyesali sikap tidak peduliku padanya selama
ini. Seluruh teman-teman mengajarku selalu menggoda kami. Mereka menganggap
bahwa kami adalah pasangan ideal.
Aku selalu menanggapi
dengan santai, tak pernah kumasukkan dalam hati. Ku akui aku masih mengingat
Bintang dan selalu membanding-bandingkan semua laki-laki di dunia ini
dengannya. Dan Luthfi juga tak luput dari perbandinganku.
Luthfi adalah laki-laki
penggila olah raga. Tak salah kalau ia menjadi seorang guru olah raga. Tidak
pernah sekalipun ia terlihat tertarik dengan hal lain selain olah raga. Dan hal
penting yang kugarisbawahi adalah bahwa ia kurang menyukai musik.
Berbeda dengan Bintang
yang berbakat menjadi musisi. Bintang adalah seorang gitaris hebat di sekolahku
dulu. Berangkat dari pengalaman cinta pertama itulah maka setelah itu aku
selalu berpacaran dengan laki-laki penggila musik, seperti Bintang.
Aku selalu menjadikan
Bintang sebagai Patron, model untuk
membuat sebuah hasil karya lain. Karena kuanggap ia adalah karya terhebat, masterpiece.
Kami memasuki sebuah
perumahan. Aku mencari Blok B nomor 7. Setelah melewati sebuah persimpangan
Luthfi membelokkan vespanya ke kiri. Deretan rumah di sebelah kanan adalah
rumah dengan nomor genap dan deretan rumah di sebelah kiri adalah deretan rumah
dengan nomor ganjil. Aku menatap ke arah kiri jalan. Dan yes! Ini dia!
Kami memasuki halaman,
Luthfi tengah memarkirkan vespanya ketika aku mengetuk pintu rumah. Tidak ada
jawaban. Kuketuk sekali lagi.
Kudengar langkah dari
dalam rumah diiringi jeritan melengking seorang bocah. Sepertinya lengkingan
itu adalah tangis seorang bocah kecil.
Seorang perempuan membuka
pintu.
“ Assalamualaikum” sapaku
“Waalaikum salam” ia
membalas
Aku segera memperkenalkan
diri sebagai gurunya Tiara dan ia segera memepersilahkan aku masuk.
Aku dan Luthfi duduk di
ruang tamu, sebenarnya rumah ini bagus. Memiliki gaya arsitektur tertentu. Aku tidak begitu
tahu apa nama gaya
arsitektur itu tapi aku sering melihat di TV acara griya. Rumah ini seperti
rumah-rumah yang ada di dalam TV itulah.
Namun sayangnya rumah itu
terkesan tidak terawat dengan baik, sepertinya penghuninya terlalu sibuk untuk
memperhatikan kerapian rumah. Tidak ada bunga-bunga di halaman. Dan ruang tamu
ini sungguh berantakan sekali.
Semua benda tidak lagi
berada di tempatnya. Vas bunga plastik ada di atas sofa, kupindahkan ke atas
meja tamu karena aku mendudukinya. Sementara botol minum bayi dan kain
gendongnya tergeletak begitu saja di atas lantai.
Seorang wanita berusia
sekitar akhir dua puluhan duduk di depan kami. Lebih muda dariku. Tapi ia
terlihat jauh melampaui usianya. Wanita! Memang selalu akan terlihat cepat tua,
bagaimana tidak. Rumah yang kacau ini yang setiap hari ia hadapi.
“Ma’af ya, Bu Mila. Saya
belum sempat memenuhi undangan Ibu.” Ibu muda itu memberi penjelasan.
“Tidak apa-apa, Bu”.
Jawabku berbohong.
Kemudian kami
bercakap-cakap membahas keadaan Tiara di sekolah. Dari cerita ibu Tiara aku
menangkap kesan bahwa keluarga Tiara adalah keluarga yangkurang harmonis.
Mungkin hal tersebut yang mempengaruhi kondisi Tiara di sekolah.
Ayahnya seorang pengacara
yang sibuk, sementara ibunya seperti tertekan dengan sikap ayahnya yang kasar.
Secara tersirat dapat kutangkap bahwa ayah Tiara adalah seorang laki-laki yang
tidak setia pada keluarga. Malah dari cerita ibunya,ia juga memiliki seorang
wanita simpanan.
Aku dapat memahami kondisi
itu, malah aku sedikit iba dengan Tiara. Anak sekecil itu sudah harus
menanggung beban masalah dari kedua orang tuanya. Ia tidak tahu harus
melampiaskan dengan cara bagaimana bahkan ia sendiri tidak memahami perasaan
marah dan kecewa yang ada dalam hatinya. Ia terlalu kecil untuk memahami itu
semua. Dalam hati kecilku telah berjanji akan mengerahkan seluruh tenaga dan
pikiranku untuk membantuk Tiara di sekolah.
Kami akan segera minta
diri ketika suara mobil memasuki halaman rumah. Kudengar suara pintu mobil
ditutup dengan kasar sekali. Bum! Seketika itu juga wajah ibu Tiara terlihat
sedikit pias, ia sangat takut.
“Tidak apa-apa,Bu. Kami
akan segera pergi.”aku menjelaskan padanya.
“ya, dan kalau Ibu mau
kami akan jelaskan pada suami Ibu bahwa tujuan kami baik. Walau bagaimanapun
kita harus bertemu dan bicara dengan baik-baik. Pembicaraan lewat telepon
kemarin dengan Ibu Mila dan suami Ibu belum cukup”. Luthfi membantuku
menjelaskan.
Kami bertiga berdiri.
Berjalan beriringan ke pintu. Luthfi berjalan paling depan. Aku mengikuti dari
belakang. Di belakangku ibu Tiara. Di halaman rumah kami berhenti, berdiri
mematung. Aku, Luthfi dan ibu Tiara berdiri berhadap-hadapan tiga lawan satu
dengan seorang lelaki hitam, gendut dan wajah dipenuhi cambang. Penampilannya
sangat berantakan. Satu hal yang menandakan bahwa ia adalah seorang pengacara
hanya jaket kulitnya, Cuma itu. Aku sering melihat pengacara kondang di TV
pasti selalu mengenakan jaket kulit. Di luar itu ia sama sekali tidak terlihat
seperti seorang pengacara, ia lebih terlihat seperti seorang preman tengik.
Persis seperti suaranya di telpon, sangat vulgar.
“Siapa kalian?” ia
bertanya dengan nada tinggi.
“Saya guru sekolah Tiara”.
Aku langsung menjawab.
“o..jadi saudara gurunya
Tiara. Bukankah kita sudah bicara di telepon?”
“Saya perlu bertemu
langsung, dengan Bapak atau Ibu. Dan tentu saja bicara baik-baik.”
Dan terjadilah semua itu.
Ia mengeluarkan suara kasarnya. Aku tidak ingat persis apa katanya. Yang aku
ingat ia mengeluarkan semua kosa kata kasar yang terdapat dalam kamus bahasa
paling kasar sedunia. Ia menceramahiku, mengataiku guru tidak becus, dengan
suara lantang dan mata merah.
Aku terdiam. Tersudut. Aku
bermaksud baik menolong anaknya, Cuma itu. Kurasa laki-laki ini seseorang yang
terganggu jiwanya. Sikapnya sangat tidak pantas. Istrinya tidak banyak membantu,
malah ia sangat ketakutan. Luthfi membelaku dengan menjelaskan baik-baik. Tapi
sepertinya laki-laki berantakan itu tidak dapat diajak bicara baik-baik.
Aku menatapnya lama.
Tiba-tiba pandangan mataku jatuh pada setitik tahi lalat yang ada di dagunya.
Dug! Jantungku sedikit berdetak. Ia juga menatapku lama. Dapat kutangkap ia
sedikit menatap rambutku yang keriting. Lama ia menatap rambutku yang kuikat
ekor kuda, ujungnya mengembang, menjuntai-juntai, berpilin-pilin.
Tiba-tiba ia terdiam, dan
aku juga. Ia ternganga menatapku dan sepertinya aku juga. Dan kemudian…
“Mila…” ia menyebut
namaku.
Mataku basah, sepertinya
aku menangis. Aku tak tahu pasti. Seperti ada sesuatu yang patah jauh di dalam
hatiku. Bibirku bergetar.
Dan kusebut juga namanya…
“Bintang…….”
**
Sabtu sore ini semestinya
menjadi sabtu paling indah. Untuk hari ini aku telah mempersiapkan diri
secantik mungkin. Aku berencana ke salon untuk memperbaiki penampilan rambutku
yang keriting ala mie instant, sangat tidak modis. Wajahku juga sudah sangat
kusam, perlu sedikit masker.
Namun Sabtu sore ini
menjadi Sabtu sore yang paling ingin kulupakan seumur hidup. Kejadian kemarin
masih menghancurkan hatiku. Perih !
Ternyata laki-laki
berantakan yang memarah-marahiku adalah Bintang. Laki-laki yang telah
kunobatkan menjadi cinta pertama, si Pangeran Hati. Kejadian kemarin membuat
seluruh kenangan cinta pertamaku koyak, hancur berantakan.
Kini kuberitahu satu hal,
friend. Jangan pernah temui cinta pertamamu lagi, jangan pernah! Karena itu
bisa jadi sangat menyakitkan. Dia bisa saja menjadi seseorang yang berbeda dan
sama sekali tidak kita suka. Kita mengingatnya dalam ingatan masa lalu, masih
kanak-kanak dan polos. Tapi sekarang semua itu bisa jadi berbeda. Semua hal di
alam ini pasti berubah kecuali perubahan itu sendiri. Dia hanya indah untuk
dikenang, tidak lebih !
Bintang. Dulu dia kurus
dan tinggi, berkulit putih bersih. Namun kini telah berubah jadi pria
gendut,hitam bertampang seram. Ia dulu begitu baik, lembut dan sopan. Kini ia
tak lebih seorang preman pasar. Dan yang paling penting untuk dicatat ia penipu
! Ia mengaku masih sendiri kepada Rita, ternyata punya anak dua. Sialan !
Aku menyesal mengapa tidak
tanggap dengan nama B.Hendrawan. Aku merasa begitu banyak nama yang hampir
mirip di dunia ini. B itu bisa jadi Budi, Badu atau apalah. Dan lagi SH di
belakang namanya, aku sama sekali tidak tahu kalau ia kuliah di Fakultas Hukum.
Tapi sudahlah, aku akan
melupakan semuanya. Tapi pada siapa lagi hati ini akan kutambatkan. Pada
siapa…?
Sabtu sore di taman bunga
ini telah berubah menjadi gelap. Angin senja meniup rambutku. Aku harus pulang.
Kuputar tubuhku yang tak lagi bersemangat. Hatiku patah.
Tak ada seorangpun yang
kuberitahu masalah ini, tidak Luthfi, juga Rita. Biarlah semua hilang dengan
sendirinya.
Biarlah aku sendiri..
Aku tak ingin ditemani
lagi.
Aku melangkah pelan,
kuangkat kepalaku sedikit. Jauh di seberang jalan sana, seorang laki-laki muda, lebih muda
dariku, berdiri di samping vespanya. Sepatu kets biru, jins dan kemeja pas
badan. Ia tersenyum, dan dengan gerakan tangan mengajakku pulang.
Melihat senyumnya
tiba-tiba hatiku cair.
“Luthfi…” bisikku tak
terdengar.
Dan kamipun melewati udara
senja berdua. Pulang.