Wednesday, November 12, 2014

CERPEN : C I N T A P E R T A M A



First love never last! Itu yang sering orang ucapkan. Entah mengapa banyak orang di dunia ini begitu mengenang cinta pertama. Ia merekah seperti setangkai bunga mawar di pagi hari, indah dan menawan.
Cinta pertama hadir di dalam hati yang begitu polos, putih dan bersih. Tak pernah dikotori oleh rayuan gombal, pertimbangan materi atau jabatan. Tidak pernah ! cinta ya cinta. Asli dan murni. Ibarat emas ia adalah emas murni tanpa campuran logam lain.
Tapi ada satu pepatah lagi mengenai cinta pertama yang jarang sekali diungkapkan orang lain. Pepatah ini telah kususun dan kurangkai dalam sebuah kalimat pendek yang mudah dipahami oleh orang lain. Karena aku ingin semua orang tahu ada bagian lain dari cinta pertama yang tidak diketahui orang lain. First love can never survive ! cinta petama tidak akan mampu bertahan. paling tidak itu menurut pengalaman empirisku sendiri.
Tersebutlah Bintang, laki-laki jangkung berumur tujuh belas tahun. Dan Mila gadis berusia lima belas tahun. Duduk di kelas I SMA Harapan  Bangsa. Mereka terlibat dalam kisah cinta pertama yang indah tak terperi. Langit selalu indah dihiasi pelangi menurut mereka walaupun orang lain tak melihat ada satu lembar warna pelangipun tergantung di angkasa. Setiap detik selalu terdengar sebuah lagu cinta  yang berdengung-dengung di telinga mereka bertajuk Now and Forever milik suara romantis Ricard Marx, walaupun orang lain sama sekali tak mendengarnya.
Itulah Bintang dan Mila, symbol cinta anak SMA, seumpama Galih dan Ratna di film tahun 80-an yang dibintang Rano Karno dan Yessi Gusman. Nama mereka tertulis di setiap tempat. Di bangku sekolah, meja,tembok belakang sekolah, di pohon pinggir jalan, di setiap lembaran buku pelajaran di mana-mana. Dan di antara nama itu mereka tidak lupa membuat gambar berbentuk hati, menandakan begitu dalam cinta mereka.
Dan mereka seperti juga kisah cinta di sinetron Indonesia yang ditayangkan televisi swasta setiap malam, telah berjanji untuk selalu bersama apapun yang terjadi. Walaupun badai dan topan tornado berimigrasi dari Amerika ke Indonesia itu semua takkan mampu memisahkan cinta mereka. Pokoknya always be together, forever, till death do us part. Ya, Tuhan alangkah dahsyatnya cinta mereka.
Dan bagi siapa saja yang mengaku dirinya adalah seorang yang mengagungkan cinta akan sangat merasa iri melihat kebersamaan mereka. Mereka selalu bersama ketika jam istirahat sekolah, pulang sekolah, kegitan ekstra kurikuler. Selalu bersama !
Itulah Bintang, laki-laki jangkung berumur tujuh belas tahun.  Dan gadis berumur lima belas tahun kelas I SMA itu adalah aku. Dan kisah cinta pertama itu adalah kisahku, lima belas tahun yang lalu !
Setahun kami bersama, karena Bintang lebih dulu menyelesaikan SMA, dia kelas III dan aku kelas I. dan saat itu adalah saat paling menyedihkan bagiku.
“Mila, aku akan merantau,”itu kata Bintang pada suatu sore setelah ia menerima ijazah SMA.
Bintang berencana akan merantau mengadu nasib di Malaysia menjadi TKI. Itu adalah sebuah rencana yang umum terjadi di desa kami. Banyak orang selepas SMA akan berlayar ke seberang untuk mengadu nasib. Karena di tempat kami tidak ada lapangan pekerjaan yang dapat diandalkan.


Dan di sore yang menyakitkan itulah kami berjanji untuk saling memberi kabar. Kami berjanji akan mengumpulkan banyak uang agar kami suatu hari nanti dapat membangun sebuah keluarga nan bahagia.
Dan kami benar-benar memenuhi janji itu. Surat yang tak putus-putusnya, kartu ulang tahun, kartu lebaran dan foto-fotoku terbaru tak lupa selalu kukirim agar ia dapat selalu melihat perkembanganku. Begitupun ia.
Dan surat-suratpun terus mengalir paling tidak untuk delapan belas bulan, karena setelah itu semuanya berhenti. Semua surat dan kartu tiada lagi, tiada lagi pelangi di pagi hari, tiada lagi melodi cinta Now and forever terdengar. Semua seperti berhenti.  Berhenti pada satu titik ; bosan ! walau getar rindu dan cinta masih sama namun kesibukan sekolah dan beberapa laki-laki pengganti membuat semuanya berubah.
Sekali lagi cinta pertama takkan pernah mampu dipertahankan, karena kemudian aku mulai mengisi lembar hari-hariku dengan laki-laki lain.
**
Anak berusia enam tahun lebih itu melompat-lompat di atas bangku kelas I A. ia sengaja melakukan itu untuk mencari perhatian teman sebangkunya yang tidak mau mendengarkannya bernyanyi.
“Tiara, tidak boleh begitu Sayang,” aku mencoba membujuknya dengan lembut. Tapi ia tetap tidak mau.
Tiara adalah muridku di SD Mawar Melati. Dia anak yang cerdas sebenarnya tapi nakalnya minta ampun. Dia selalu bergerak kesana- kemari ketika jam pelajaran berlangsung. Dia mengganggu teman, menyembunyikan pensil teman sebangkunya bahkan memukul siapa saja yang berani dekat dengannya tak peduli dia anak laki-laki yang tubuhnya lebih besar darinya.
Kehadirannya merupakan sebuah ujian kesabaran bagiku, sebuah ujian yang tak pernah dilakukan di bangku kuliah dulu namun harus dihadapi ketika aku bekerja.
Untung tak lama bel tanda pulang berbunyi, aku segera memimpin murid-murid untuk berdoa dan keluar kelas dengan tertib. Murid berbaris keluar kelas dan aku mengikutinya dari belakang.
Di pintu kelas kulihat Luthfi guru olah raga di sekolahku sedang melatih anak-anak bermain basket. Ia segera menghampiriku.
“Bagaimana Bu Mila hari ini, apa Tiara membuat keributan lagi?”
Dengarlah ! pertanyaan itu membuktikan bahwa kenakalan Tiara telah menjadi pengetahuan wajib bagi seluruh guru di sekolah ini. Aku tersenyum getir. Dia juga tersenyum tapi tidak getir malah manis.
Aku menjelaskan padanya tentang tingkah laku Tiara hari ini. Dan menjelaskan bahwa aku berencana akan menelpon orang tuanya. Sudah tiga kali surat panggilan dikirimkan kepada orang tua Tiara untuk datang ke sekolah guna membicarakan tentang perkembangan anaknya namun tak sekalipun orang tuanya datang. Setiap hari yang mengantar jemput Tiara adalah tukang becak langganan Tiara.
Pagi tadi kulihat buku data murid kelasku, dan tertera nomor telepon di situ. Ini harus dilakukan karena tiga surat sebelumnya tidak mendapat taggapan serius.
Tertera B. Tampubolon, SH adalah ayah Tiara dan ibunya Rahmatanti, SE. Ayahnya seorang pengacara dan ibunya tidak bekerja. Dapat kupahami kesibukan ayahnya tapi ibunya tidak memiliki kesibukan apa-apa. Kulihat lagi data keluarganya bahwa Tiara adalah anak pertama dari 2 bersaudara. Jadi tidak dapat dijadikan alasan kesibukan ibunya dijadikan alasan tidak datang ke sekolah.
**
Jam dua siang angin sepoi-sepoi. Waktu yang tepat untuk tidur siang. Tidur siang adalah saat yang paling kusuka. Karena saat itu seluruh kepenatan setelah selama setengah hari penuh dapat terhapus di atas pembaringan empuk.
Kubuka jendela kamar agar udara siang dapat masuk. Halaman samping rumahku ditumbuhi oleh banyak pohon sehingga bila siang hari selalu menjanjikan kesejukan walaupun cuaca sangat panas.
Aku membaringkan tubuhku. Kejadian tadi di sekolah sangat membekas. Bagaimana tidak orang tua Tiara-muridku yang supernakal- memarah-marahiku seenaknya.
“Itu kan tugas ibu sebagai guru kok saya harus turun tangan”. Begitu kata ayah Tiara di telpon. Dengan logat salah satu daerah di Sumatera yang kental. Kemudian dia membentak-bentakku dengan kata-kata kasar. Menceramahiku bahwa guru itu harus begini begitu.
Aku heran. Bukankah ayahnya adalah orang terpelajar dan memiliki profesi bagus. Pengacara. Tapi masih punya pikiran bahwa tanggung jawab mendidik anak adalah seratus persen tanggung jawab guru di sekolah. Benar-benar tidak masuk akal. Akibatnya dia tidak mau tahu dengan apa yang terjadi dengan anaknya.
Kujelaskan bahwa seharusnya dia atau istrinya datang ke sekolah untuk memenuhi surat panggilan, ia memberi alasan sibuk. Entah dengan istrinya dia jugatidak tahu mengapa istrinya tidak datang untuk memenuhi surat panggilan itu. Aneh ! bukankah mereka satu rumah ?
Lalu kujelaskan mengenai keadaan putrinya yang selalu membuat keributan di sekolah, nilainya yang tak pernah di atas empat, juga sikapnya yang selalu melawan guru.
Dan semua pernyataanku selalu dijawab dengan sebuah kalimat yang sama. “Itu kan tugas ibu sebagai guru”.
Benar-benar orang tua menyebalkan !
Untung saja siang tadi suasana hatiku lagi baik. Aku sedang bersemangat karena sebelum berangkat kerja, Rita teman semasa SMA mengirimku sebuah pesan singkat.
“Aq bertmu Bintang,msh ingt km,msh sndri,n sdg cr cln istri”
Oh my God! Tiba-tiba aku merasa lemas dan jantung berdegup kencang.
Dengan hanya satu kalimat saja sudah membuat suasana hatiku berubah. Ada setitik rasa bahagia dalam hatiku. Rasanya seperti ditetes embun pagi, sejuk sekali terasa dalam hati. Seketika itu juga kupandangi langit, dan kulihat terbentang warna-warni pelangi. Merah, kuning, hijau di langit yang biru. Dan seketika itu juga berdengung-dengung alunan gitar akustik milik Richard Marx mengalunkan Now and Forever. Indah tak terperi.
Ah..sudah begitu lama aku tak melihatnya. Bagaimanakah ia kini? Bertambah gendut atau  masih kurus seperti dulu. Aku tak bisa membayangkan bagaimana wajahnya kini, selalu yang tampak laki-laki kurus dengan seragam SMA, Cuma itu.
Rita sudah mengatur sebuah janji untuk pertemuan kami. Sabtu sore, di sebuah Taman Bunga. Aku tertawa dalam hati. Seperti di film India saja. Setelah lima belas tahun tak bersua akhirnya dipertemukan kembali dengan cinta pertama. Dan masih sama-sama sendiri. Duh… betapa indahnya.
Tiba-tiba aku teringat Luthfi. Ya, ampun, aku ada janji dengannya. Entah kenapa ia begitu berbaik hati akan mengantarkan aku ke rumah Tiara muridku untuk menjumpai ibunya. Walau bagaimanapun harus ada tindakan dari sekolah. Sikap ayahnya tidak bisa diharapkan. Bila ini terus berlanjut Tiara akan terancam tinggal kelas. Maka aku mengambil inisiatif untuk menjumpai ibunya, barang kali sikap ibunya berbeda.
Aku dan Lutfi berangkat menuju rumah Tiara dengan mengendarai vespa milik Luthfi. Dia memakai jeans biru dan kemeja lengan panjang yang pas di tubuhnya. Sepatu kets yang juga berwarna biru menambah pas penampilannya. Jujur, ia terlihat berbeda.
Selama ini aku mengenal Luthfi sebagai ‘bapak guru’. Ia selalu berpenampilan super rapi. Kalau tidak memakai safari pasti ia akan mengenakan kaus olah raga. Selalu begitu dari senin  sampai sabtu.
Tapi kali ini ia beda. Tampak lebih muda. Diam-diam aku menyesali sikap tidak peduliku padanya selama ini. Seluruh teman-teman mengajarku selalu menggoda kami. Mereka menganggap bahwa kami adalah pasangan ideal.
Aku selalu menanggapi dengan santai, tak pernah kumasukkan dalam hati. Ku akui aku masih mengingat Bintang dan selalu membanding-bandingkan semua laki-laki di dunia ini dengannya. Dan Luthfi juga tak luput dari perbandinganku.
Luthfi adalah laki-laki penggila olah raga. Tak salah kalau ia menjadi seorang guru olah raga. Tidak pernah sekalipun ia terlihat tertarik dengan hal lain selain olah raga. Dan hal penting yang kugarisbawahi adalah bahwa ia kurang menyukai musik.
Berbeda dengan Bintang yang berbakat menjadi musisi. Bintang adalah seorang gitaris hebat di sekolahku dulu. Berangkat dari pengalaman cinta pertama itulah maka setelah itu aku selalu berpacaran dengan laki-laki penggila musik, seperti Bintang.
Aku selalu menjadikan Bintang sebagai Patron, model untuk membuat sebuah hasil karya lain. Karena kuanggap ia adalah karya terhebat, masterpiece.
Kami memasuki sebuah perumahan. Aku mencari Blok B nomor 7. Setelah melewati sebuah persimpangan Luthfi membelokkan vespanya ke kiri. Deretan rumah di sebelah kanan adalah rumah dengan nomor genap dan deretan rumah di sebelah kiri adalah deretan rumah dengan nomor ganjil. Aku menatap ke arah kiri jalan. Dan yes! Ini dia!
Kami memasuki halaman, Luthfi tengah memarkirkan vespanya ketika aku mengetuk pintu rumah. Tidak ada jawaban. Kuketuk sekali lagi.
Kudengar langkah dari dalam rumah diiringi jeritan melengking seorang bocah. Sepertinya lengkingan itu adalah tangis seorang bocah kecil.
Seorang perempuan membuka pintu.
“ Assalamualaikum” sapaku
“Waalaikum salam” ia membalas
Aku segera memperkenalkan diri sebagai gurunya Tiara dan ia segera memepersilahkan aku masuk.
Aku dan Luthfi duduk di ruang tamu, sebenarnya rumah ini bagus. Memiliki gaya arsitektur tertentu. Aku tidak begitu tahu apa nama gaya arsitektur itu tapi aku sering melihat di TV acara griya. Rumah ini seperti rumah-rumah yang ada di dalam TV itulah.
Namun sayangnya rumah itu terkesan tidak terawat dengan baik, sepertinya penghuninya terlalu sibuk untuk memperhatikan kerapian rumah. Tidak ada bunga-bunga di halaman. Dan ruang tamu ini sungguh berantakan sekali.
Semua benda tidak lagi berada di tempatnya. Vas bunga plastik ada di atas sofa, kupindahkan ke atas meja tamu karena aku mendudukinya. Sementara botol minum bayi dan kain gendongnya tergeletak begitu saja di atas lantai.
Seorang wanita berusia sekitar akhir dua puluhan duduk di depan kami. Lebih muda dariku. Tapi ia terlihat jauh melampaui usianya. Wanita! Memang selalu akan terlihat cepat tua, bagaimana tidak. Rumah yang kacau ini yang setiap hari ia hadapi.
“Ma’af ya, Bu Mila. Saya belum sempat memenuhi undangan Ibu.” Ibu muda itu memberi penjelasan.
“Tidak apa-apa, Bu”. Jawabku berbohong.
Kemudian kami bercakap-cakap membahas keadaan Tiara di sekolah. Dari cerita ibu Tiara aku menangkap kesan bahwa keluarga Tiara adalah keluarga yangkurang harmonis. Mungkin hal tersebut yang mempengaruhi kondisi Tiara di sekolah.
Ayahnya seorang pengacara yang sibuk, sementara ibunya seperti tertekan dengan sikap ayahnya yang kasar. Secara tersirat dapat kutangkap bahwa ayah Tiara adalah seorang laki-laki yang tidak setia pada keluarga. Malah dari cerita ibunya,ia juga memiliki seorang wanita simpanan.
Aku dapat memahami kondisi itu, malah aku sedikit iba dengan Tiara. Anak sekecil itu sudah harus menanggung beban masalah dari kedua orang tuanya. Ia tidak tahu harus melampiaskan dengan cara bagaimana bahkan ia sendiri tidak memahami perasaan marah dan kecewa yang ada dalam hatinya. Ia terlalu kecil untuk memahami itu semua. Dalam hati kecilku telah berjanji akan mengerahkan seluruh tenaga dan pikiranku untuk membantuk Tiara di sekolah.
Kami akan segera minta diri ketika suara mobil memasuki halaman rumah. Kudengar suara pintu mobil ditutup dengan kasar sekali. Bum! Seketika itu juga wajah ibu Tiara terlihat sedikit pias, ia sangat takut.
“Tidak apa-apa,Bu. Kami akan segera pergi.”aku menjelaskan padanya.
“ya, dan kalau Ibu mau kami akan jelaskan pada suami Ibu bahwa tujuan kami baik. Walau bagaimanapun kita harus bertemu dan bicara dengan baik-baik. Pembicaraan lewat telepon kemarin dengan Ibu Mila dan suami Ibu belum cukup”. Luthfi membantuku menjelaskan.
Kami bertiga berdiri. Berjalan beriringan ke pintu. Luthfi berjalan paling depan. Aku mengikuti dari belakang. Di belakangku ibu Tiara. Di halaman rumah kami berhenti, berdiri mematung. Aku, Luthfi dan ibu Tiara berdiri berhadap-hadapan tiga lawan satu dengan seorang lelaki hitam, gendut dan wajah dipenuhi cambang. Penampilannya sangat berantakan. Satu hal yang menandakan bahwa ia adalah seorang pengacara hanya jaket kulitnya, Cuma itu. Aku sering melihat pengacara kondang di TV pasti selalu mengenakan jaket kulit. Di luar itu ia sama sekali tidak terlihat seperti seorang pengacara, ia lebih terlihat seperti seorang preman tengik. Persis seperti suaranya di telpon, sangat vulgar.
“Siapa kalian?” ia bertanya dengan nada tinggi.
“Saya guru sekolah Tiara”. Aku langsung menjawab.
“o..jadi saudara gurunya Tiara. Bukankah kita sudah bicara di telepon?”
“Saya perlu bertemu langsung, dengan Bapak atau Ibu. Dan tentu saja bicara baik-baik.”
Dan terjadilah semua itu. Ia mengeluarkan suara kasarnya. Aku tidak ingat persis apa katanya. Yang aku ingat ia mengeluarkan semua kosa kata kasar yang terdapat dalam kamus bahasa paling kasar sedunia. Ia menceramahiku, mengataiku guru tidak becus, dengan suara lantang dan mata merah.
Aku terdiam. Tersudut. Aku bermaksud baik menolong anaknya, Cuma itu. Kurasa laki-laki ini seseorang yang terganggu jiwanya. Sikapnya sangat tidak pantas. Istrinya tidak banyak membantu, malah ia sangat ketakutan. Luthfi membelaku dengan menjelaskan baik-baik. Tapi sepertinya laki-laki berantakan itu tidak dapat diajak bicara baik-baik.
Aku menatapnya lama. Tiba-tiba pandangan mataku jatuh pada setitik tahi lalat yang ada di dagunya. Dug! Jantungku sedikit berdetak. Ia juga menatapku lama. Dapat kutangkap ia sedikit menatap rambutku yang keriting. Lama ia menatap rambutku yang kuikat ekor kuda, ujungnya mengembang, menjuntai-juntai, berpilin-pilin.
Tiba-tiba ia terdiam, dan aku juga. Ia ternganga menatapku dan sepertinya aku juga. Dan kemudian…
“Mila…” ia menyebut namaku.
Mataku basah, sepertinya aku menangis. Aku tak tahu pasti. Seperti ada sesuatu yang patah jauh di dalam hatiku. Bibirku bergetar.
Dan kusebut juga namanya…
“Bintang…….”


**
Sabtu sore ini semestinya menjadi sabtu paling indah. Untuk hari ini aku telah mempersiapkan diri secantik mungkin. Aku berencana ke salon untuk memperbaiki penampilan rambutku yang keriting ala mie instant, sangat tidak modis. Wajahku juga sudah sangat kusam, perlu sedikit masker.
Namun Sabtu sore ini menjadi Sabtu sore yang paling ingin kulupakan seumur hidup. Kejadian kemarin masih menghancurkan hatiku. Perih !
Ternyata laki-laki berantakan yang memarah-marahiku adalah Bintang. Laki-laki yang telah kunobatkan menjadi cinta pertama, si Pangeran Hati. Kejadian kemarin membuat seluruh kenangan cinta pertamaku koyak, hancur berantakan.
Kini kuberitahu satu hal, friend. Jangan pernah temui cinta pertamamu lagi, jangan pernah! Karena itu bisa jadi sangat menyakitkan. Dia bisa saja menjadi seseorang yang berbeda dan sama sekali tidak kita suka. Kita mengingatnya dalam ingatan masa lalu, masih kanak-kanak dan polos. Tapi sekarang semua itu bisa jadi berbeda. Semua hal di alam ini pasti berubah kecuali perubahan itu sendiri. Dia hanya indah untuk dikenang, tidak lebih !
Bintang. Dulu dia kurus dan tinggi, berkulit putih bersih. Namun kini telah berubah jadi pria gendut,hitam bertampang seram. Ia dulu begitu baik, lembut dan sopan. Kini ia tak lebih seorang preman pasar. Dan yang paling penting untuk dicatat ia penipu ! Ia mengaku masih sendiri kepada Rita, ternyata punya anak dua. Sialan !
Aku menyesal mengapa tidak tanggap dengan nama B.Hendrawan. Aku merasa begitu banyak nama yang hampir mirip di dunia ini. B itu bisa jadi Budi, Badu atau apalah. Dan lagi SH di belakang namanya, aku sama sekali tidak tahu kalau ia kuliah di Fakultas Hukum.
Tapi sudahlah, aku akan melupakan semuanya. Tapi pada siapa lagi hati ini akan kutambatkan. Pada siapa…?
Sabtu sore di taman bunga ini telah berubah menjadi gelap. Angin senja meniup rambutku. Aku harus pulang. Kuputar tubuhku yang tak lagi bersemangat. Hatiku patah.
Tak ada seorangpun yang kuberitahu masalah ini, tidak Luthfi, juga Rita. Biarlah semua hilang dengan sendirinya.
Biarlah aku sendiri..
Aku tak ingin ditemani lagi.
Aku melangkah pelan, kuangkat kepalaku sedikit. Jauh di seberang jalan sana, seorang laki-laki muda, lebih muda dariku, berdiri di samping vespanya. Sepatu kets biru, jins dan kemeja pas badan. Ia tersenyum, dan dengan gerakan tangan mengajakku pulang.
Melihat senyumnya tiba-tiba hatiku cair.
“Luthfi…” bisikku tak terdengar.
Dan kamipun melewati udara senja berdua. Pulang.