Penghujung Sya’ban telah tiba, itu berarti Ramadhan telah
di ambang pintu. Semua orang sibuk mempersiapkan diri; hati, kesehatan dan juga
persiapan finansial. Hati dipersiapkan agar dapat melaksanakan ibadah-ibadah di
bulan suci, kesehatan juga demikian. Karena untuk melaksanakan ibadah puasa
perlu didukung kesehatan. Dan finansial? Untuk mempersiapkan menu jelang
Ramadhan tentunya. Dan sayapun telah mempersiapkan diri pula; hati yang bersih,
kesehatan yang prima berikut finansial seadanya.
Sudah menjadi tradisi turun temurun dari masyarakat Aceh
1 atau 2 hari sebelum Ramadhan akan melaksanakan kebiasaan hari memotong hewan
atau yang biasa disebut “Uroe Mak Meugang” atau Hari Mak Meugang. Entah
bagaimana tradisi ini bermula namun banyak orang tua yang menyebutkan bahwa
tradisi ini sudah berkembang sejak masa raja-raja Aceh dahulu. Karenanya
pagi-pagi saya bergegas, mempersiapkan menu mak meugang dengan menelusuri jalan
di Kota Langsa, Aceh di pagi Jum’at yang dingin, hampir penghujung Juli 2012.
Mak Meugang adalah hari di mana masyarakat memotong hewan
misalnya “lemoe” atau sapi (dalam kebiasaan sehari-hari masyarakat Aceh sering
disebut lembu), keubeu (kerbau), kame’ng(kambing), itek (itik, bebek) dan manok
(ayam). Semua jenis daging itu akan dimasak sesuai dengan selera masing-masing.
Yang paling sering adalah daging sapi, kerbau dan ayam yang dimasak rendang.
Tak hanya suku Minang saja yang mendiami provinsi
Sumatera Barat yang mengenal jenis masakan rendang. Masyarakat Aceh juga
menjadikan masakan ini sebagai makanan khasnya. Tetapi jenis rendang milik suku
Minang berbeda dengan yang dimiliki suku Aceh. Suku Minang biasanya rasanya
lebih pedas karena menggunakan banyak cabe dan hanya menggunakan sedikit jenis
bumbu.
Sementar rendang yang dimiliki masyarakat Aceh terdiri
dari bumbu yang beraneka ragam. Mulai dari kelapa gongseng (kelapa parut,
disangrai kemudian dihaluskan), jinten, kemiri, kapulaga, jahe, kunyit, sedikit
lengkuas, cabe, bawang merah dan putih serta perasan santan.
Selain rendang sapi kambing juga tak boleh dilupakan.
Biasanya kambing dimasak kari. Sejarah Aceh yang panjang yang mendapat sentuhan
dan sedikit pengaruh dari India menjadikan masakan kari juga sangat digemari
masyarakat Aceh. Sementara ayam dan bebek biasa dimasak gulai putih.
Sehari sebelum mak meugang saya dan suami mengunjungi
mertua. Mertua saya menjelaskan bahwa tekanan darahnya naik sehingga hari mak
meugang mereka berdua tak ingin makan daging. Demikian pula dengan kedua orang
tua saya, mereka juga tak ingin makan daging seperti biasa dengan alasan
kesehatan. Karenanya kami memutuskan bahwa mak meugang tahun ini kami tidak
makan daging. Lalu ? kami hanya membeli seekor bebek atau itik dan rencana saya
akan saya masak menjadi gulai putih. Loh? Bukankah tidak ada rencana makan
daging? Makan daging yang saya maksudkan (dan sebagian besar masyarakat Aceh)
adalah sapi dan kerbau, sementara ayam dan bebek tidak pernah dikatakan sebagai
“daging”. Dan tentu saja karena hari mak meugang tidak ada yang tidak makan
daging, semua pasti akan makan daging (walau ayam dan bebek).
Karena semua orang di hari itu memasak daging untuk
keluarganya. Bisa dibayangkan sepanjang jalan yang dilalui banyak orang menjual
daging. Toko-toko tutup dan diganti dengan pemandangan para penjual daging.
Sayapun tak mau absen berada di keramaian itu. Jalan kaki
saja karena kendaraan tak bisa lagi berjalan di tengah keramaian orang yang
tumpah ruah di mana-mana. Sibuk lihat-lihat bebek yang sehat dan berdaging
banyak. Setelah dapat yang saya cari sayapun melanjutkan perjalanan dengan
tujuan mendapatkan bumbu.
Sebenarnya bumbu masakan itu seharusnya dihaluskan oleh
ibu-ibu dengan menggunakan batu yang disebut dengan “batu giling”. Batu
tersebut memiliki bentuk bulat seperti tabung sedangkan bagian yang dijadikan
tempat menghaluskan berbentuk kotak. Tapi berhubung saya telah mengubah diri
menjadi “ibu-ibu masa kini” maka saya mencari bumbu yang lebih praktis tanpa
digiling secara manual. Walaupun ini akan sangat membedakan rasa. Biasanya
ibu-ibu akan menjual jenis bumbu yang sudah dihaluskan, tinggal sebutkan saja
masakan apa yang akan dimasak. Beres. Sayapun memilih bumbu gulai putih sesuai
rencana.
Dalam perjalanan pulang saya bertemu dengan seorang bapak
yang tak saya kenal. Ia menjinjing satu kaki sapi, saya perhatikan sepertinya
daging bagian paha sudah agak berkurang. Mungkin sudah dibeli orang sebelumnya.
Bapak tersebut hanya menenteng begitu saja kaki lembu dengan sebelah tangan.
Ada kebiasaan yang membuat orang bangga bila bisa
membelikan 1 kaki lembu untuk keluarganya, dan akan merasa sedih sekali bila di
hari mak meugang hanya sedikit membeli daging. Entah siapa yang mengawali
pemikiran tersebut. Apa lagi bila daging tersebut dibelikan oleh “melintee”
atau menantu kepada “mak tuan atau yah tuan” atau ibu dan ayah mertuanya.
Adegan selanjutnya adalah menuju dapur. Saya membersihkan
daging bebek yang baru saya beli, menumis bumbu dan memasukkan santan. Biarkan
sekitar 45 menit. Selesai. Bebek gulai putihpun siap disantap sebagai menu
makan siang di hari mak meugang ini. Saya membawa masakan yang telah saya buat
ke dalam wadah rantang. Saya dan suami mengunjungi orang tua dan mertua saya.
Kami makan bersama, saling bersalaman dan bermaafan menyambut Ramadhan.
Sebenarnya inti dari tradisi mak meugang adalah
kebersamaan keluarga. Setiap orang akan menghabiskan waktu tersebut untuk makan
siang bersama keluarganya. Karenanya bagi yang tinggal di perantauan yang jauh
dari keluarga akan sangat terasa sedih bila mak meugang berjauhan. Mereka akan
mengucapkan selamat menyambut puasa via telepon, sms, fax, facebook, twitter
atau menulis di sebuah blog.
Seperti saya kali ini, saya mengirim tulisan ini untuk
semua kerabat, sahabat, siapapun yang sedang merindukan keluarganya, baik dekat
ataupun jauh, untuk menyampaikan pesan paling tulus: “Selamat Menyambut Shaum
Ramadhan 1433 H, Mohon Ma’af Lahir Batin.”