Friday, September 21, 2012

MAK MEUGANG : EUFORIA JELANG RAMADHAN




Penghujung Sya’ban telah tiba, itu berarti Ramadhan telah di ambang pintu. Semua orang sibuk mempersiapkan diri; hati, kesehatan dan juga persiapan finansial. Hati dipersiapkan agar dapat melaksanakan ibadah-ibadah di bulan suci, kesehatan juga demikian. Karena untuk melaksanakan ibadah puasa perlu didukung kesehatan. Dan finansial? Untuk mempersiapkan menu jelang Ramadhan tentunya. Dan sayapun telah mempersiapkan diri pula; hati yang bersih, kesehatan yang prima berikut finansial seadanya.
Sudah menjadi tradisi turun temurun dari masyarakat Aceh 1 atau 2 hari sebelum Ramadhan akan melaksanakan kebiasaan hari memotong hewan atau yang biasa disebut “Uroe Mak Meugang” atau Hari Mak Meugang. Entah bagaimana tradisi ini bermula namun banyak orang tua yang menyebutkan bahwa tradisi ini sudah berkembang sejak masa raja-raja Aceh dahulu. Karenanya pagi-pagi saya bergegas, mempersiapkan menu mak meugang dengan menelusuri jalan di Kota Langsa, Aceh di pagi Jum’at yang dingin, hampir penghujung Juli 2012.
Mak Meugang adalah hari di mana masyarakat memotong hewan misalnya “lemoe” atau sapi (dalam kebiasaan sehari-hari masyarakat Aceh sering disebut lembu), keubeu (kerbau), kame’ng(kambing), itek (itik, bebek) dan manok (ayam). Semua jenis daging itu akan dimasak sesuai dengan selera masing-masing. Yang paling sering adalah daging sapi, kerbau dan ayam yang dimasak rendang.
Tak hanya suku Minang saja yang mendiami provinsi Sumatera Barat yang mengenal jenis masakan rendang. Masyarakat Aceh juga menjadikan masakan ini sebagai makanan khasnya. Tetapi jenis rendang milik suku Minang berbeda dengan yang dimiliki suku Aceh. Suku Minang biasanya rasanya lebih pedas karena menggunakan banyak cabe dan hanya menggunakan sedikit jenis bumbu.
Sementar rendang yang dimiliki masyarakat Aceh terdiri dari bumbu yang beraneka ragam. Mulai dari kelapa gongseng (kelapa parut, disangrai kemudian dihaluskan), jinten, kemiri, kapulaga, jahe, kunyit, sedikit lengkuas, cabe, bawang merah dan putih serta perasan santan.
Selain rendang sapi kambing juga tak boleh dilupakan. Biasanya kambing dimasak kari. Sejarah Aceh yang panjang yang mendapat sentuhan dan sedikit pengaruh dari India menjadikan masakan kari juga sangat digemari masyarakat Aceh. Sementara ayam dan bebek biasa dimasak gulai putih.
Sehari sebelum mak meugang saya dan suami mengunjungi mertua. Mertua saya menjelaskan bahwa tekanan darahnya naik sehingga hari mak meugang mereka berdua tak ingin makan daging. Demikian pula dengan kedua orang tua saya, mereka juga tak ingin makan daging seperti biasa dengan alasan kesehatan. Karenanya kami memutuskan bahwa mak meugang tahun ini kami tidak makan daging. Lalu ? kami hanya membeli seekor bebek atau itik dan rencana saya akan saya masak menjadi gulai putih. Loh? Bukankah tidak ada rencana makan daging? Makan daging yang saya maksudkan (dan sebagian besar masyarakat Aceh) adalah sapi dan kerbau, sementara ayam dan bebek tidak pernah dikatakan sebagai “daging”. Dan tentu saja karena hari mak meugang tidak ada yang tidak makan daging, semua pasti akan makan daging (walau ayam dan bebek).
Karena semua orang di hari itu memasak daging untuk keluarganya. Bisa dibayangkan sepanjang jalan yang dilalui banyak orang menjual daging. Toko-toko tutup dan diganti dengan pemandangan para penjual daging.
Sayapun tak mau absen berada di keramaian itu. Jalan kaki saja karena kendaraan tak bisa lagi berjalan di tengah keramaian orang yang tumpah ruah di mana-mana. Sibuk lihat-lihat bebek yang sehat dan berdaging banyak. Setelah dapat yang saya cari sayapun melanjutkan perjalanan dengan tujuan mendapatkan bumbu.
Sebenarnya bumbu masakan itu seharusnya dihaluskan oleh ibu-ibu dengan menggunakan batu yang disebut dengan “batu giling”. Batu tersebut memiliki bentuk bulat seperti tabung sedangkan bagian yang dijadikan tempat menghaluskan berbentuk kotak. Tapi berhubung saya telah mengubah diri menjadi “ibu-ibu masa kini” maka saya mencari bumbu yang lebih praktis tanpa digiling secara manual. Walaupun ini akan sangat membedakan rasa. Biasanya ibu-ibu akan menjual jenis bumbu yang sudah dihaluskan, tinggal sebutkan saja masakan apa yang akan dimasak. Beres. Sayapun memilih bumbu gulai putih sesuai rencana.
Dalam perjalanan pulang saya bertemu dengan seorang bapak yang tak saya kenal. Ia menjinjing satu kaki sapi, saya perhatikan sepertinya daging bagian paha sudah agak berkurang. Mungkin sudah dibeli orang sebelumnya. Bapak tersebut hanya menenteng begitu saja kaki lembu dengan sebelah tangan.
Ada kebiasaan yang membuat orang bangga bila bisa membelikan 1 kaki lembu untuk keluarganya, dan akan merasa sedih sekali bila di hari mak meugang hanya sedikit membeli daging. Entah siapa yang mengawali pemikiran tersebut. Apa lagi bila daging tersebut dibelikan oleh “melintee” atau menantu kepada “mak tuan atau yah tuan” atau ibu dan ayah mertuanya.
Adegan selanjutnya adalah menuju dapur. Saya membersihkan daging bebek yang baru saya beli, menumis bumbu dan memasukkan santan. Biarkan sekitar 45 menit. Selesai. Bebek gulai putihpun siap disantap sebagai menu makan siang di hari mak meugang ini. Saya membawa masakan yang telah saya buat ke dalam wadah rantang. Saya dan suami mengunjungi orang tua dan mertua saya. Kami makan bersama, saling bersalaman dan bermaafan menyambut Ramadhan.
Sebenarnya inti dari tradisi mak meugang adalah kebersamaan keluarga. Setiap orang akan menghabiskan waktu tersebut untuk makan siang bersama keluarganya. Karenanya bagi yang tinggal di perantauan yang jauh dari keluarga akan sangat terasa sedih bila mak meugang berjauhan. Mereka akan mengucapkan selamat menyambut puasa via telepon, sms, fax, facebook, twitter atau menulis di sebuah blog.
Seperti saya kali ini, saya mengirim tulisan ini untuk semua kerabat, sahabat, siapapun yang sedang merindukan keluarganya, baik dekat ataupun jauh, untuk menyampaikan pesan paling tulus: “Selamat Menyambut Shaum Ramadhan 1433 H, Mohon Ma’af Lahir Batin.”








Thursday, September 20, 2012

MASTERPIECE




Many artists in this world got some masterpiece from their creation, just like Monalisa that painted by Leonardo Da Vinci. Since two months ago I’ve been starting think that my Holy God gives me His Materpiece for us (me and hubby). It’s not created as a painting like Da Vinci’s Monalisa, it’s real. I can touch it, I can smell it, I can kiss it and I love it. We named it Mikael. It’s a human being, it’s a baby, ours...and our Mikael is a Given Masterpiece from heaven.........

Friday, July 13, 2012

RESEP AWET MUDA



Aku dilahirkan di awal tahun 1976. Itu berarti usiaku tahun ini 36 tahun. Tahun depan 37 tahun dan 4 tahun mendatang usiaku akan 40 tahun. Sebuah angka yang tak muda lagi.
Tapi entah kenapa (bukannya aku ingin kege-eran) banyak yang tidak percaya usiaku sesungguhnya. Mereka mengira aku masih berusia 20 tahunan. Boleh percaya atau tidak. Mungkin karena bentuk tubuhku yang mungil didukung wajah yang “polos” membuat aku terlihat lebih muda.
Saat aku tamat SMA sedikit yang percaya aku telah berusia 18 tahun. Bila orang baru pertama kali melihatku mereka mengira aku masih duduk di bangku SMP. Usia 20 tahun aku mulai bekerja sebagai guru disebuah madrasah aliyah. Dan banyak orang yang sulit membedakan mana guru mana muridnya.
Awalnya keadaan itu sangat menggangguku. Aku merasa  eksistensiku sebagai wanita dewasa dipertanyakan. Pernah suatu kali seorang atasan yang baru ditempatkan di tempat aku mengajar mengira aku adalah mahasiswa yang praktek mengajar di sekolahku. Aku diminta mengerjakan ini itu, pekerjaan yang ringan tapi bikin kesal. Misalnya memindahkan tempat sampah dan lain-lain. Setelah beliau tahu aku adalah guru tetap di situ beliau langsung minta maaf.
Sewaktu aku menikah dan duduk di pelaminan. Seorang teman lama sempat mencandaiku; “Wah...ni lagi pesta ulang tahun atau mau pergi pawai 17-an?’ semua temanku tertawa waktu itu. Karena menurut mereka aku belum pantas menikah dan duduk di pelaminan, jadi penampilanku waktu itu dianggap lebih cocok ikut pawai karnaval pakaian adat 17 Agustus. Lucu memang, tapi menyakitkan hatiku sekali !
Belum lagi laki-laki yang mengira bahwa aku masih sendiri, terkadang ingin kenalan atau sekedar meminta nomor hp. Karenanya aku mencoba berpenampilan sedewasa mungkin. Aku memakai lipstik berwarna merah menyala (seperti yang sering kulihat dipakai banyak wanita dewasa), pada hal aku lebih menyukai warna merah muda. Aku berpakaian sedikit keibuan misalnya baju kurung dan berkerudung dan menggunakan sepatu bertumit tinggi.
Sebenarnya aku merasa tidak nyaman dengan keadaan itu. Aku merasa “berpura-pura” menjadi orang lain. Hingga suatu hari suamiku berkata, “Tak perlu risaulah bila terlihat kekanakan begitu. Coba lihat ada begitu banyak orang yang melakukan segala cara agar terlihat muda, mereka ke salon, senam aerobik untuk menghilangkan lemak, memakai kosmetik mahal dan lain sebagainya. Sementara kita tak perlu lakukan apa-apa. Bukankah harusnya kita bersyukur?”
Aku merenungi kata-kata suamiku. Ada benarnya juga. Sejak saat itu akupun belajar menerima diriku apa adanya. Aku tak mau lagi memakai lipstik dengan warnah menyala, aku bicara, tertawa dan berpenampilan apa adanya diriku. Tak berpura-pura lagi. Aku tak peduli orang akan meragukan kesenioranku karena usia mudaku. Karena sempat seorang wali muridku meragukan aku karena mengajar di kelas anaknya. “Masih terlalu muda, apa bisa ngajar gak ya.” Begitu katanya. Aku lebih suka bekerja semaksimal mungkin, tak peduli mereka menganggap aku muda atau sudah tua.
Dan suatu hari teman dekatku semasa kuliah bertanya padaku,”sebenarnya apa sih resep awet mudamu?” tanyanya dengan wajah serius. Aku tertawa. “Tidak ada resep rahasia.” Jawabku jujur.
Tapi temanku ini sepertinya benar-benar serius dengan pertanyaannya. Ia terus menanyaiku. Menurutnya ia perlu terlihat muda karena kebetulan suaminya berusia lebih muda darinya. Dan karena ia begitu seriusnya dan punya alasan yang juga penting untuk terlihat muda maka akupun berbagi dengannya resep awet muda dariku, walaupun sebenarnya aku terlebih dahulu memikirkan jawaban untuknya karena aku merasa tidak punya resep istimewa apa-apa.
Ini dia resep awet muda dariku :
1.    Banyak minum air putih
2.    Banyak makan sayur berwarna hijau dan buah segar
3.    Cukup istirahat
4.    Tidak boleh begadang (apa lagi kerja lembur di depan komputer, radiasi komputer akan membuat wajah terlihat tua).
5.    Selalu tersenyum dari hati kepada orang lain
6.    Penuh semangat
7.    Jangan pernah berhenti belajar dan selalu terbuka dengan hal-hal baru.
8. Menyalurkan hobi yang bermanfaat
Di antara 7 rahasia itu itu poin nomor 5,6,7 dan 8 adalah paling penting. Muda tak hanya terlihat secara fisik tetapi juga secara spirit. Dan akupun belajar memahami sesuatu bahwa usia hanyalah hitungan angka-angka. Untuk menjadi dewasa tak selamanya berupa penampilan fisik semata. Menjadi dewasa berarti bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Menjadi dewasa adalah bagaimana kita menghadapi dan menyelesaikan masalah yang kita temui. Tak perlu berpenampilan “dewasa” sementara pemikiran justru “kekanakan”.
Dan akupun bahagia dengan diriku apa adanya, tak peduli terlihat muda atau akan terlihat tua suatu hari nanti.

Thursday, July 12, 2012

KISAH CINTA QAIS DAN LAILA



Pernahkah kau rasakan jatuh cinta ? Benar-benar jatuh cinta ? Adalah bohong bila ada yang menjawab tidak pernah. Jatuh cinta adalah sesuatu yang mewarnai kisah hidup setiap manusia. Tak peduli dari bangsa manapun, dari level apapun dan tak peduli dengan siapapun, seseorang pasti pernah mengalaminya.
Banyak orang yang mendefinisikan apa dan bagaimana itu cinta. Cinta sama seperti sebuah penyakit, ia memiliki sebuah gejala. Gejala yang paling umum terjadi adalah jantung akan berdegup kencang bila bertemu dengan orang yang dicintai atau segala sesuatu yang berhubungan dengannya, entah itu rumahnya atau sekedar namanya disebutkan oleh seseorang. Hati akan berbunga-bunga bila bertemu dengannya. Kerongkongan akan kering bila ingin berbicara dengannya. Bila si dia memandang maka sikappun akan akan sedikit berubah menjadi salah tingkah. Ingin selalu tampil ganteng atau cantik di depannya. Bila bertemu di keramaian akan malu dan sungkan untuk bicara walau hati sangat ingin, lebih sering mencuri pandang saja dari kejauhan. Dan yang paling menyiksa  adalah ketika tidak berjumpa maka hati akan merasa rindu tak terkira. Hanya ada wajahnya di ruang mata. Serasa ingin detik itu juga terbang menemuinya.
Perasaan itulah yang dirasakan Qais terhadap Laila. Qais Ibn Maluh adalah seorang pemuda padang pasir dari suku Badui Arab. Sama seperti pemuda Arab waktu itu kegiatannya sehari-hari adalah menggembala domba. Ia menggembala bersama-sama dengan pemuda lainnya. Mereka bermain dan tumbuh bersama. Di antara teman sepermainan dan teman menggembalanya ada seorang perempuan, remaja dan jelita. Dia adalah Laila, putri pamannya.
Mereka sebaya. Lahir dan besar di lingkungan yang sama. Mereka bermain, berkumpul dan menggembala domba bersama. Bagi Qais awalnya arti seorang Laila hanyalah sebatas saudara sepupu. Tapi ketika ia mulai memasuki usia akil baligh, ada sesuatu yang berbeda dalam pandangan Qais terhadap Laila. Ia mulai memimpikan Laila di dalam tidurnya. Ia mulai rindu senyum manisnya. Ia mulai gelisah bila tak berjumpa dengannya. Dan ada sesuatu yang hangat dan mekar di dalam hati saat mereka bersama. Tak terlukiskan, tak terbayangkan, dan tak terkira Qais telah jatuh cinta.
Dalam budaya Arab masa itu (masa awal Islam dan mungkin juga hingga kini) pengaruh syair sangatlah kuat.  Orang menyampaikan maksud, mengumumkan sesuatu bahkan melakukan kampanye atau propaganda menggunakan syair. Para penyair sangat dihormati dan memiliki kedudukan tinggi di masyarakat. Begitu kuat budaya bersyair termasuk dalam urusan cinta.
Qaispun menjadikan Laila sebagai inspirasi dari syair-syairnya. Ia telah menatap, menyentuh, mencumbu dan memiliki Laila: di dalam syair-syairnya. Syair itupun tersebar luas. Masyarakat mereka telah mengetahui betapa Qais telah begitu dalam memendam rasa cinta terhadap Laila. Hingga suatu hari, Qais tak kuasa memendam cinta, iapun memberanikan diri menemui pamannya; ia akan meminang Laila.
Hidup bukanlah sebuah dongeng. Di mana seorang pangeran akan menikah dengan pujaan hatinya. Mereka menikah dan hidup bahagia selamanya. Selesai. Hidup tidaklah sesederhana itu. Hidup penuh dengan romantika, suka dan duka silih berganti. Terkadang apa yang kita inginkan tidaklah terjadi, justru sebaliknya yang sangat tidak kita inginkan itulah yang terjadi.
Dan Qaispun harus mendapati kenyataan pahit. Lamarannya ditolak. Dalam budaya Arab masa itu seorang ayah tidak boleh menikahkan anak gadisnya dengan seorang pemuda yang menjadikan putrinya objek cumbu rayu di dalam syair yang telah tersebar luas. Dan pamannya yang memiliki hak mutlak terhadap pernikahan anak perempuannya menikahkan Laila dengan seorang pemuda dari suku Tsaqif. Laila dibawa pergi oleh suaminya ke Thaif. Sejak saat itu Qais tak lagi pernah mendengar kabar tentang Laila.
Qais tak tahu apakah Laila bahagia atau ia menderita hidup dengan suaminya. Tak seorangpun yang memberinya kabar. Ia benar-benar kehilangan. Hatinya hancur berkeping-keping. Tak ada lagi Laila di dekatnya. Lama kelamaan kondisinya semakin buruk. Bahkan ada yang mengatakan ia menjadi gila. Orang-orang di sekitarnyapun memberinya gelar “majnun”, dalam bahasa Arab berarti “Si Gila”. Karenanya kisah cinta Qais dan Laila sering disebut dengan Laila Majnun.
Begitulah cinta. Seperti Mario Teguh pernah berkata :
Bagi jiwa yang
sedang jatuh cinta,
tidak ada pemandangan
yang lebih melukai hati
dan menyadap kering
...sari kehidupan dari hatinya,
kecuali menyaksikan
yang dicintainya
jatuh cinta
kepada orang lain.

Cinta harus memiliki.

Dan tidak ada
kekuatan kemanusiaan
yang lebih besar
daripada cinta.

Itu sebabnya,
tidak ada kepedihan
yang lebih pilu
daripada cinta
yang tak dapat memiliki.

Dan Qais dengan melankoli hidupnya akhirnya meninggal dunia. Membawa cintanya terkubur bersama jasadnya.
Qais bukanlah pemuda masa kini yang dapat mencari ganti dengan mudah. Kehidupan padang pasir waktu itu tidak memungkinkan seseorang untuk bertemu orang lain selain kalangan keluarga dekat. Karenanya kehilangan Laila tak ada gantinya. Kita tentulah tidak seperti itu. Kita tidak hidup di padang pasir yang hanya melihat satu wanita atau laki laki saja. Begitu banyak makhluk ciptaan Tuhan lainnya yang siap menyambut cinta kita bila kehilangan sebuah cinta. Dan bila kau telah berhasil menemukan seorang penggantinya bersyukurlah kau tidak terlahir sebagai seorang Qais Ibn Maluh, si pemuda padang pasir yang tak sempat menikmati luas dan indahnya dunia bersama cintanya.