Pernahkah kau
rasakan jatuh cinta ? Benar-benar jatuh cinta ? Adalah bohong bila ada yang
menjawab tidak pernah. Jatuh cinta adalah sesuatu yang mewarnai kisah hidup
setiap manusia. Tak peduli dari bangsa manapun, dari level apapun dan tak
peduli dengan siapapun, seseorang pasti pernah mengalaminya.
Banyak orang yang
mendefinisikan apa dan bagaimana itu cinta. Cinta sama seperti sebuah penyakit,
ia memiliki sebuah gejala. Gejala yang paling umum terjadi adalah jantung akan
berdegup kencang bila bertemu dengan orang yang dicintai atau segala sesuatu
yang berhubungan dengannya, entah itu rumahnya atau sekedar namanya disebutkan
oleh seseorang. Hati akan berbunga-bunga bila bertemu dengannya. Kerongkongan
akan kering bila ingin berbicara dengannya. Bila si dia memandang maka sikappun
akan akan sedikit berubah menjadi salah tingkah. Ingin selalu tampil ganteng
atau cantik di depannya. Bila bertemu di keramaian akan malu dan sungkan untuk
bicara walau hati sangat ingin, lebih sering mencuri pandang saja dari
kejauhan. Dan yang paling menyiksa adalah ketika tidak berjumpa maka hati akan merasa
rindu tak terkira. Hanya ada wajahnya di ruang mata. Serasa ingin detik itu
juga terbang menemuinya.
Perasaan itulah yang
dirasakan Qais terhadap Laila. Qais Ibn Maluh adalah seorang pemuda padang
pasir dari suku Badui Arab. Sama seperti pemuda Arab waktu itu kegiatannya
sehari-hari adalah menggembala domba. Ia menggembala bersama-sama dengan pemuda
lainnya. Mereka bermain dan tumbuh bersama. Di antara teman sepermainan dan
teman menggembalanya ada seorang perempuan, remaja dan jelita. Dia adalah
Laila, putri pamannya.
Mereka sebaya. Lahir
dan besar di lingkungan yang sama. Mereka bermain, berkumpul dan menggembala
domba bersama. Bagi Qais awalnya arti seorang Laila hanyalah sebatas saudara
sepupu. Tapi ketika ia mulai memasuki usia akil baligh, ada sesuatu yang
berbeda dalam pandangan Qais terhadap Laila. Ia mulai memimpikan Laila di dalam
tidurnya. Ia mulai rindu senyum manisnya. Ia mulai gelisah bila tak berjumpa
dengannya. Dan ada sesuatu yang hangat dan mekar di dalam hati saat mereka
bersama. Tak terlukiskan, tak terbayangkan, dan tak terkira Qais telah jatuh
cinta.
Dalam budaya Arab
masa itu (masa awal Islam dan mungkin juga hingga kini) pengaruh syair
sangatlah kuat. Orang menyampaikan
maksud, mengumumkan sesuatu bahkan melakukan kampanye atau propaganda
menggunakan syair. Para penyair sangat dihormati dan memiliki kedudukan tinggi
di masyarakat. Begitu kuat budaya bersyair termasuk dalam urusan cinta.
Qaispun menjadikan
Laila sebagai inspirasi dari syair-syairnya. Ia telah menatap, menyentuh,
mencumbu dan memiliki Laila: di dalam syair-syairnya. Syair itupun tersebar
luas. Masyarakat mereka telah mengetahui betapa Qais telah begitu dalam
memendam rasa cinta terhadap Laila. Hingga suatu hari, Qais tak kuasa memendam
cinta, iapun memberanikan diri menemui pamannya; ia akan meminang Laila.
Hidup bukanlah sebuah
dongeng. Di mana seorang pangeran akan menikah dengan pujaan hatinya. Mereka
menikah dan hidup bahagia selamanya. Selesai. Hidup tidaklah sesederhana itu.
Hidup penuh dengan romantika, suka dan duka silih berganti. Terkadang apa yang
kita inginkan tidaklah terjadi, justru sebaliknya yang sangat tidak kita
inginkan itulah yang terjadi.
Dan Qaispun harus
mendapati kenyataan pahit. Lamarannya ditolak. Dalam budaya Arab masa itu
seorang ayah tidak boleh menikahkan anak gadisnya dengan seorang pemuda yang menjadikan
putrinya objek cumbu rayu di dalam syair yang telah tersebar luas. Dan pamannya
yang memiliki hak mutlak terhadap pernikahan anak perempuannya menikahkan Laila
dengan seorang pemuda dari suku Tsaqif. Laila dibawa pergi oleh suaminya ke
Thaif. Sejak saat itu Qais tak lagi pernah mendengar kabar tentang Laila.
Qais tak tahu apakah
Laila bahagia atau ia menderita hidup dengan suaminya. Tak seorangpun yang
memberinya kabar. Ia benar-benar kehilangan. Hatinya hancur berkeping-keping.
Tak ada lagi Laila di dekatnya. Lama kelamaan kondisinya semakin buruk. Bahkan
ada yang mengatakan ia menjadi gila. Orang-orang di sekitarnyapun memberinya
gelar “majnun”, dalam bahasa Arab berarti “Si Gila”. Karenanya kisah cinta Qais
dan Laila sering disebut dengan Laila Majnun.
Begitulah cinta.
Seperti Mario Teguh pernah berkata :
...sari kehidupan dari hatinya,
kecuali menyaksikan
yang dicintainya
jatuh cinta
kepada orang lain.
“Cinta harus memiliki.”
Dan tidak ada
kekuatan kemanusiaan
yang lebih besar
daripada cinta.
Itu sebabnya,
tidak ada kepedihan
yang lebih pilu
daripada cinta
yang tak dapat memiliki.
Dan Qais dengan
melankoli hidupnya akhirnya meninggal dunia. Membawa cintanya terkubur bersama
jasadnya.
Qais bukanlah pemuda
masa kini yang dapat mencari ganti dengan mudah. Kehidupan padang pasir waktu
itu tidak memungkinkan seseorang untuk bertemu orang lain selain kalangan
keluarga dekat. Karenanya kehilangan Laila tak ada gantinya. Kita tentulah
tidak seperti itu. Kita tidak hidup di padang pasir yang hanya melihat satu
wanita atau laki laki saja. Begitu banyak makhluk ciptaan Tuhan lainnya yang
siap menyambut cinta kita bila kehilangan sebuah cinta. Dan bila kau telah
berhasil menemukan seorang penggantinya bersyukurlah kau tidak terlahir sebagai
seorang Qais Ibn Maluh, si pemuda padang pasir yang tak sempat menikmati luas
dan indahnya dunia bersama cintanya.
No comments:
Post a Comment