Thursday, July 12, 2012

KISAH CINTA QAIS DAN LAILA



Pernahkah kau rasakan jatuh cinta ? Benar-benar jatuh cinta ? Adalah bohong bila ada yang menjawab tidak pernah. Jatuh cinta adalah sesuatu yang mewarnai kisah hidup setiap manusia. Tak peduli dari bangsa manapun, dari level apapun dan tak peduli dengan siapapun, seseorang pasti pernah mengalaminya.
Banyak orang yang mendefinisikan apa dan bagaimana itu cinta. Cinta sama seperti sebuah penyakit, ia memiliki sebuah gejala. Gejala yang paling umum terjadi adalah jantung akan berdegup kencang bila bertemu dengan orang yang dicintai atau segala sesuatu yang berhubungan dengannya, entah itu rumahnya atau sekedar namanya disebutkan oleh seseorang. Hati akan berbunga-bunga bila bertemu dengannya. Kerongkongan akan kering bila ingin berbicara dengannya. Bila si dia memandang maka sikappun akan akan sedikit berubah menjadi salah tingkah. Ingin selalu tampil ganteng atau cantik di depannya. Bila bertemu di keramaian akan malu dan sungkan untuk bicara walau hati sangat ingin, lebih sering mencuri pandang saja dari kejauhan. Dan yang paling menyiksa  adalah ketika tidak berjumpa maka hati akan merasa rindu tak terkira. Hanya ada wajahnya di ruang mata. Serasa ingin detik itu juga terbang menemuinya.
Perasaan itulah yang dirasakan Qais terhadap Laila. Qais Ibn Maluh adalah seorang pemuda padang pasir dari suku Badui Arab. Sama seperti pemuda Arab waktu itu kegiatannya sehari-hari adalah menggembala domba. Ia menggembala bersama-sama dengan pemuda lainnya. Mereka bermain dan tumbuh bersama. Di antara teman sepermainan dan teman menggembalanya ada seorang perempuan, remaja dan jelita. Dia adalah Laila, putri pamannya.
Mereka sebaya. Lahir dan besar di lingkungan yang sama. Mereka bermain, berkumpul dan menggembala domba bersama. Bagi Qais awalnya arti seorang Laila hanyalah sebatas saudara sepupu. Tapi ketika ia mulai memasuki usia akil baligh, ada sesuatu yang berbeda dalam pandangan Qais terhadap Laila. Ia mulai memimpikan Laila di dalam tidurnya. Ia mulai rindu senyum manisnya. Ia mulai gelisah bila tak berjumpa dengannya. Dan ada sesuatu yang hangat dan mekar di dalam hati saat mereka bersama. Tak terlukiskan, tak terbayangkan, dan tak terkira Qais telah jatuh cinta.
Dalam budaya Arab masa itu (masa awal Islam dan mungkin juga hingga kini) pengaruh syair sangatlah kuat.  Orang menyampaikan maksud, mengumumkan sesuatu bahkan melakukan kampanye atau propaganda menggunakan syair. Para penyair sangat dihormati dan memiliki kedudukan tinggi di masyarakat. Begitu kuat budaya bersyair termasuk dalam urusan cinta.
Qaispun menjadikan Laila sebagai inspirasi dari syair-syairnya. Ia telah menatap, menyentuh, mencumbu dan memiliki Laila: di dalam syair-syairnya. Syair itupun tersebar luas. Masyarakat mereka telah mengetahui betapa Qais telah begitu dalam memendam rasa cinta terhadap Laila. Hingga suatu hari, Qais tak kuasa memendam cinta, iapun memberanikan diri menemui pamannya; ia akan meminang Laila.
Hidup bukanlah sebuah dongeng. Di mana seorang pangeran akan menikah dengan pujaan hatinya. Mereka menikah dan hidup bahagia selamanya. Selesai. Hidup tidaklah sesederhana itu. Hidup penuh dengan romantika, suka dan duka silih berganti. Terkadang apa yang kita inginkan tidaklah terjadi, justru sebaliknya yang sangat tidak kita inginkan itulah yang terjadi.
Dan Qaispun harus mendapati kenyataan pahit. Lamarannya ditolak. Dalam budaya Arab masa itu seorang ayah tidak boleh menikahkan anak gadisnya dengan seorang pemuda yang menjadikan putrinya objek cumbu rayu di dalam syair yang telah tersebar luas. Dan pamannya yang memiliki hak mutlak terhadap pernikahan anak perempuannya menikahkan Laila dengan seorang pemuda dari suku Tsaqif. Laila dibawa pergi oleh suaminya ke Thaif. Sejak saat itu Qais tak lagi pernah mendengar kabar tentang Laila.
Qais tak tahu apakah Laila bahagia atau ia menderita hidup dengan suaminya. Tak seorangpun yang memberinya kabar. Ia benar-benar kehilangan. Hatinya hancur berkeping-keping. Tak ada lagi Laila di dekatnya. Lama kelamaan kondisinya semakin buruk. Bahkan ada yang mengatakan ia menjadi gila. Orang-orang di sekitarnyapun memberinya gelar “majnun”, dalam bahasa Arab berarti “Si Gila”. Karenanya kisah cinta Qais dan Laila sering disebut dengan Laila Majnun.
Begitulah cinta. Seperti Mario Teguh pernah berkata :
Bagi jiwa yang
sedang jatuh cinta,
tidak ada pemandangan
yang lebih melukai hati
dan menyadap kering
...sari kehidupan dari hatinya,
kecuali menyaksikan
yang dicintainya
jatuh cinta
kepada orang lain.

Cinta harus memiliki.

Dan tidak ada
kekuatan kemanusiaan
yang lebih besar
daripada cinta.

Itu sebabnya,
tidak ada kepedihan
yang lebih pilu
daripada cinta
yang tak dapat memiliki.

Dan Qais dengan melankoli hidupnya akhirnya meninggal dunia. Membawa cintanya terkubur bersama jasadnya.
Qais bukanlah pemuda masa kini yang dapat mencari ganti dengan mudah. Kehidupan padang pasir waktu itu tidak memungkinkan seseorang untuk bertemu orang lain selain kalangan keluarga dekat. Karenanya kehilangan Laila tak ada gantinya. Kita tentulah tidak seperti itu. Kita tidak hidup di padang pasir yang hanya melihat satu wanita atau laki laki saja. Begitu banyak makhluk ciptaan Tuhan lainnya yang siap menyambut cinta kita bila kehilangan sebuah cinta. Dan bila kau telah berhasil menemukan seorang penggantinya bersyukurlah kau tidak terlahir sebagai seorang Qais Ibn Maluh, si pemuda padang pasir yang tak sempat menikmati luas dan indahnya dunia bersama cintanya.

No comments:

Post a Comment